Belajar Membaca Buku

Saya ingin mengakui aib terburuk dan paling rahasia dari diri saya. Mungkin semua orang menganggap hal ini adalah tindakan konyol dan bodoh. Tapi saya harus membuka ini kepada kalian, agar kalian, teman-teman terbaik saya, bisa menjumput pelajaran berharga dari apa yang saya alami. Saya ingin mengaku, bahwa....

Saya tidak pernah paham dengan apa yang saya baca selama ini. Dalam kurun waktu sekitar empat tahun, saya sudah membaca kurang-lebih empat belas novel. Baik novel sastrawan Indonesia maupun novel-novel terjemahan dari bahasa Inggris, Prancis, Jerman, bahkan Amerika Latin. Modern ataupun klasik. Saya akui lagi saya tidak paham dengan novel-novel yang saya baca. Terakhir saya membaca tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer. Lagi-lagi. Saya tidak paham dengan apa yang hendak Pram sampaikan kepada khalayak. 

Barangkali kalian akan bertanya, bagaimana mungkin anak kuliah sastra Indonesia tidak paham dengan novel-novel yang ia baca? Apa yang dia pelajari di bangku kuliah? Apa mungkin dia orang yang bebal? Mungkin pertanyaan-pertanyaan semacam ini terlontar dari pikiran kita. Oh, tidak, saya tidak berlebihan tentang hal ini. Saya benar-benar tidak paham dengan apa yang saya baca. Atau mungkin saya perlu jelaskan apa itu definisi paham menurut saya. Nah, saat menulis kata inilah saya merasa seolah saya berlagak sebagai orang yang paling pandai di dunia. Hahaha. 

Ketika saya masih di pesantren dahulu (tidak terlalu dahulu sebenarnya, hanya sekitar dua tahun lalu). Ustad saya bilang, ketika kami bersua di sebuah forum di kelas, beliau berkata dalam bahasa Madura, "Mun maca ketab, jek perak maca leng-celengnga malolo, tape beca kia te-potena", (jika kalian membaca kitab, jangan kalian baca hanya hitam-hitamnya, tapi juga putih-putihnya).

Kata "hitam-hitamnya" merujuk kepada tulisan. Karena sebagian besar teks tertulis di tulis dengan tinta hitam. Sedangkan kata "putih-putihnya" mengacu kepada kertas di mana tulisan itu di tulis. 

Sejenak saya terdiam sesaat setelah mendengar kata-kata ustad saya tersebut. Dan beliau juga tidak menjelaskan apa maksud dari perkataan itu. Jadi saya mencari-cari maksudnya dengan bertanya kepada teman-teman yang lebih senior. 

Pemahaman awal saya, sepanjang waktu kita sampai sekarang, kita memang membaca tulisan yang tampak. Namun, kita tidak pernah "membaca" kertasnya, yang berwarna putih itu, yang tidak kita pahami itu. 

Pendek kata, inilah definisi "paham" menurut saya (sebenarnya bukan menurut saya, tapi menurut guru saya). Kita dituntut tidak hanya membaca tulisan yang tampak oleh indra pengelihatan saja. Tapi kita juga mesti membaca dan memahami tulisan yang tidak tampak oleh mata. Makna dibaliknya. 

Saya akan mengutip kalimat penutup dari novel Alexandre Dumas berjudul Monte Cristo, yakni, ".....Comte de Monte Cristo baru saja menasihati kita bahwa seluruh kebijaksanaan manusia bertumpu hanya kepada dua patah kata: menunggu dan berharap". 

Dengan mudah kita bisa memahami maksud dari kata-kata tersebut. Bahwa kita diajari untuk menunggu dan mengharap. Namun, jika kita berusaha berpikir lebih dalam lagi, apa makna dibalik "menunggu" dan "berharap"? Apabila kita mampu menjelaskan makna "menunggu" dan "berharap" ini. Sekurang-kurangnya kita bisa menganggap diri kita sudah paham. 

Saya akan mencoba memahaminya, dan menafsirkannya. "Menunggu" dapat diartikan sebagai pelajaran untuk bersabar. Bersabar ini sebagai bentuk dari sebuah kebijaksanaan manusia, dan lebih lanjut, kebijaksanaan adalah akhlak paling tinggi manusia. Tak heran jika kita mendengar orang paling berfilsafat—karena filsafat adalah ibunya para ilmu—dianggap sebagai orang yang paling bijak, paling berilmu, dan paling beradab.

"Berharap" adalah suatu bentuk usaha dan penyerahan tertinggi manusia kepada nasib, dan terutama kepada Tuhan sebagai satu-satunya sandaran akhir bagi kepasrahan seorang hamba. Pengharapan tanpa diselingi pengakuan sebagai makhluk hina akan sia-sia. Tak akan membuahkan hasil. Manusia sombong akan selalu kalah oleh orang lain bahkan bisa kalah oleh dirinya sendiri. 

Sejak saat itu saya selalu berpikir. Pasti senantiasa ada hal yang tak tampak dari apa yang kita lihat dan baca dengan mata kita. Dan ini tidak hanya berlaku pada buku, tapi juga pada kehidupan yang berlangsung di dunia nyata. Selalu saja ada makna yang tak tersingkap dari suatu peristiwa. Sesuatu itu tersembunyi. Bahkan di saat semua hal begitu jelas oleh mata dan pikiran kita. 

Saya berpikiran kembali mengenai novel-novel yang saya baca selama empat tahun terakhir. Saya tahu bagaimana keadaan Prancis pada abad kedelapan belas melalui novel Alexandre Dumas. Saya melihat bagaimana suasana Amerika (Ohio) dari novel Pearl S. Buck. Masjid-masjid Turki yang indah arsitekturnya, saya tahu dari cepen-cerpen Orhan Pamuk. Atau mungkin tentang bunga sakura yang sedang bermekaran, warnanya yang merah muda, dan semerbak aromanya, saya tahu dari cerita-cerita Yasunari Kawabata. Namun, saya tidak pernah paham dengan apa yang hendak para penulis itu sampaikan melalui pesan yang terkandung di balik kisah-kisah mereka. 

Mari kita berlatih berpikir lebih kritis lagi. Supaya setidaknya kita tidak membuang waktu dengan membaca buku tanpa memahami maknanya. Ayo perbanyak baca buku. Buku apa yang sedang kalian baca minggu ini? Kalau saya sedang membaca kumpulan cerpen milik Rabindranath Tagore, pengarang India. 


Komentar

  1. Mungkin ada di sudut pikiranmu ada pertanyaan, apakah yg kamu sampaikan di tulisan ini? Mungkin kamu belum mengetahuinya, tapi tujuannya ada pada para pembaca. Ialah kesan yang indah kala kami membaca rentetan pengetahuan dan pengalaman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin tulisan saya masih agak berantakan makanya anda bilang saya bingung dengan apa yang saya sampaikan, hahaha. Terima kasih komentar nya. Dan saya senang. Syukur jika tulisan ini, yang awalnya saya niatkan hanya berupa catatan pribadi bisa bermanfaat bagi orang lain.

      Hapus
  2. Seorang kawanku pernah bercerita, "Bung, aku selalu heran padamu, bagaimana bisa kau betah berjam-jam membaca buku?"

    Sedang di lain waktu ia berkata, "Kala menonton film, bahkan anime, kenapa pikiranmu bukan menikmatinya tapi malah merangkum makna yang kau dapat? Film itu ya tontonan," herannya.

    Perihal membaca, bagiku tak hanya pada buku. Karena sejatinya, buku hanya sebagai penyampai gagasan-gagasan si pengarang. Membaca sendiri memiliki banyak cara. Menonton film juga termasuk salah satunya. Sebab, film menghidupkan gagasan lewat setiap adegan yang direka.

    Tulisan yang sangat membantu!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer