Pinggir Sungai Ketiga, Joao Guimaraes Rosa

Bayangkan, suatu hari ayahmu memesan sebuah perahu panjang, dan tanpa berdiskusi dengan diri dan keluargamu, ia memutuskan untuk menaikinya di sungai selamanya, ya selamanya. Tanpa pernah mau kembali lagi ke daratan. 

Seperti itulah gambaran pembuka cerita pendek Joao Guimaraes Rosa. Bagian pembuka cerita pendek berjudul Pinggir Sungai Ketiga ini, membuat saya teringat kepada karya-karya Franz Kafka yang selalu saja dibuka dengan kalimat-kalimat mengejutkan. 

Dalam The Trial, Kafka membuka novel itu dengan peristiwa penangkapan K. suatu pagi oleh orang-orang yang, sama sekali tidak bergaya petugas. Dan dalam cerpen Guimaraes saya menemukan keterkejutan yang sama sebagaimana yang saya temukan pada novel Kafka. 

Sang narator adalah seorang anak yang kira-kira masih belum genap lima belas tahun. Seperti kalimat di atas, anak ini mendapati ayahnya memesan perahu suatu hari. Seketika sekeluarga merasa bingung, ada apa dengan ayah. 

Hal ini mengingatkan saya kepada Nabi Nuh, yang sekonyong-konyong membuat perahu besar sekali padahal semua orang merasa tak ada hal yang mesti dikhawatirkan sampai harus membuat perahu. Namun, ini tidak sama dengan Nabi Nuh. 

Ayah anak tersebut menurunkan perahu dan menaikinya sendirian. Tanpa bekal makanan, tanpa baju ganti, tanpa obat-obatan sebagai tindakan jaga-jaga kalau-kalau suatu ketika tiba-tiba sakit. Yang serasa menjengkelkan, tak ada suatu hal yang ditampakkan penulis sebagai penyebab dari sosok ayah yang tiba-tiba memutuskan berlayar di sungai tanpa mau pernah kembali ke daratan. 

Di aliran sungai yang luas, tenang, dan menakutkan itu, sang ayah berlayar sendirian, berada di dasar perut perahu. Mendayung hanya di sekitar batas desa itu, tak pernah mendayung lebih jauh, atau melebihi batas desa. 

Kemungkinan yang ada, sang ayah tengah berusaha memenuhi suatu nazar yang belum pernah sempat terbayarkan. Atau barangkali, si ayah memiliki penyakit yang begitu berbahaya sehingga dia harus pergi dari keluarganya demi kebaikan keluarga itu sendiri. 

Kemungkinan kedua akan membawa kita kepada ingatan tentang isolasi mandiri ketika pandemi. Jika sang ayah benar-benar berlayar menyendiri karena penyakit berbahaya yang dideritanya. Maka hal ini adalah pengajaran yang berharga bagi kita. Sang ayah rela meninggalkan semua keluarganya selamanya. Meski nyatanya dia belum tahu apa benar penyakit yang dideritanya mungkin sembuh atau tidak. Mungkin kita harus mulai mau melakukan isolasi mandiri jika kita terkonfirmasi positif korona. 

Si anak terus membawakan makanan secara diam-diam. Membawakan baju ganti ketika diyakini semua orang telah terlelap tidur. Dia sadar bahwa ayahnya membutuhkannya. Dia tidak pernah bisa membenci ayahnya meski ayah telah pergi seakan tak lagi peduli terhadap kehidupan keluarganya. 

Namun, anak itu, sebagaimana anak-anak yang bebakti kepada ayah-ayah mereka. Ia terus mengirimi ayah dengan makanan-makanan, baju-baju, dan obat-obatan. 

Sang ibu berkali-kali membujuk suaminya agar menyudahi pelayaran yang tak pernah habis dan tak guna itu. Ia mengirim pendeta ke salah satu sisi sungai, memohon untuk mengusir makhluk-makhluk jahat yang menempel pada suaminya. Suatu kali ia juga mengirim dua orang prajurit untuk menakut-nakuti. Namun semua tak mampu membuat si ayah menyerah dengan tekadnya. 

Ketika suatu saat si anak duduk di tepi sungai sambil mengharap ayahnya datang dan naik ke pinggir sungai. Ia melihat sang ayah mengalun bersama arus sungai, sendirian. Ayahnya benar-benar datang. Melambai-lambaikan tangannya setelah beberapa tahun lamanya, ya, beberapa tahun. Ia meneriaki ayahnya itu agar ayah pulang dan pelayaran akan dia gantikan. Si ayah mengampiri anaknya. Tapi anak itu begitu takut, dan dengan tubuh bergetar, ia berlari menjauh, sangat jauh. 

Pelarian sang anak merupakan metafor bahwa pengorbanan itu memang berat. Kita merasa mampu jika kita berpikir hal itu sangat jauh dan mustahil bagi kita. Namun, ketika saat pengorbanan itu tiba. Rasa takut akan mulai merasuki tubuh, jiwa, dan pikiran kita. Lalu kita akan berkata, "aku tidak mau, aku tidak mau". Menandakan ketakutan manusia terhadap masalah yang sangat sungguh-sungguh nyata. 

Saya akan tidak merasa bosan ketika harus mengulang-ulang kalimat pembuka cerita ini. Mengejutkan. Dan tak bisa dipungkiri, rasa seperti inilah yang membawa kita kepada pengembaraan menyenangkan dari kata, kalimat, paragraf, dan lembar-lembar selanjutnya. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer