Percaya Kepada Pemerintah?

Di negeri kita, Indonesia ini, berjubel orang masih mau berjuang untuk mengaharap-harap suatu kebaikan dari pemerintah. Mereka terus berjalan sebagaimana pelaut berlayar pada samudra yang tak terbatas. Sesulit-sulit labirin paling rumit, tak pernah mengkhianati mereka yang mencari jalan keluar. Mungkin ini prinsip mereka.

Namun, bagaimana bila orang-orang mulai menyerah untuk berharap dari pemerintah? Bagaimana jika rakyat sudah bosan dengan tampilan sok peduli pemerintah? Bagaimana jika mereka berpikir ternyata samudera memiliki batas dan dunia mempunyai ujung? Kepercayaan yang mereka bangun terhadap pemerintah mulai mereka lucuti dari prinsip-prinsip teguh mereka selama ini.

Beberapa bisa kita temukan, sebagian rakyat sudah terlampau lelah untuk berusaha didengar pemerintah. Putus asa ketika melihat pemerintah berjalan sendiri tanpa tahu atau bahkan tidak tahu-menahu dengan keadaan rakyat. Enggan melihat alih-alih mengayomi terhadap rakyat. Setidaknya seperti inilah rakyat dan pemerintah yang digambarkan Juan Rulfo dalam cerita pendeknya, Luvina. 

Cerita itu bermula saat seorang laki-laki hendak menuju Luvina entah dengan tujuan apa. Ia singgah di suatu tempat, di mana lelaki lain muncul dan mengajaknya minum di salah satu kedai terbaik di sana.

Lelaki tuan rumah memberinya minum, yang ia akui, kalau minuman itu sangat buruk bagi orang asing. Tapi itu satu-satunya yang bisa tuan rumah hidangkan. Setelah tuan rumah tahu bahwa tamunya hendak menuju Luvina. Ia mulai bercerita.

Luvina adalah tempat terburuk yang pernah ia datangi. Di sana tak ada pohon yang mampu memperkecil laju angin. Angin begitu berisik, hingga kau terkadang tak pernah mendengar adakah seseorang telah memanggil namamu. Tubuh perempuan di sana, kau tak akan melihat payudara mereka menonjol sebagaimana perempuan di tempat lain. Tubuh mereka telah habis oleh kelaparan dan keputusasaan. 

Penduduk di sana hanya berdiam, yang seakan-akan, mereka hanya menunggu satu-satunya harapan yang cepat membebaskan mereka dari Luvina, kematian. Ya, kematian, percayalah, mereka benar-benar menanti ajal. Sesuatu yang selama ini kita takutkan karena dunia terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. 

Tuan rumah berkata bahwa ia pernah mengajak mereka untuk mencari penghidupan yang lebih bisa diandalkan. Pergi ke kota. Atau setidaknya ke desa yang agak subur. Tak pernah ia sangka jawaban mereka. Mereka menjawab bahwa mereka tak mungkin meninggalkan orang-orang yang berbaring di bawah tanah Luvina begitu saja. Karena mereka tinggal, anak-anak dan generasi mareka juga harus tetap tinggal.

Tuan rumah lalu menyahut. 'Kalian akan dibantu pemerintah.' Lantas segera mereka membalas, 'apa kau mengenal pemerintah?' Ini pertanyaan sekaligus penyangkalan. Percuma punya pemerintah kalau mereka tidak kenal rakyatnya. Begitulah mereka. Yang seolah-olah hanya orang-orang yang kenal dan dekat pemerintah yang bisa menikmati tanah subur. 

Bayangkan hal ini suatu saat tejadi pada rakyat Indonesia. Bagaimana jika rakyat berpikir bahwa umur yang mereka gunakan untuk hidup hanya untuk diam menunggu datangnya maut. Yang bila kita cermati, hal ini timbul karena kepercayaan rakyat terhadap pemerintah telah habis. Orang-orang mulai mengira kalau pemerintah tak akan pernah mendengar mareka lagi. Keterandalan dari pemerintah entah luntur oleh nafsu makan rakus mereka. 

Belum lagi apabila Indonesia serupa Luvina; tanah tandus tak berair di mana setiap orang, siapapun, takkan mampu menumbuhkan satu batang pohon sama sekali. Indonesia masih punya beribu-ribu hektar tanah hutan, pertanian, sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Tak patut seharusnya rakyat mesti berputus asa dengan keadaan pemerintah yang tak pernah mendengar omongan rakyat. 

Namun, rakyat tiada salah. Tanggung jawab pemerintah adalah kesejahteraan rakyat. Mereka berjanji demikian saat kampanye. Meraup suara rakyat yang selanjutnya mereka khianati sendiri. Rakyat berkoar-koar sementara pemerintah menatap penghidupan mereka sendiri. Demonstrasi tengah berlangsung di penjuru negeri. Rakyat berjuang melawan kemiskinan sementara pemerintah manikmati gelimang kekayaan. Begitu demonstrasi diwarnai anarkisme, pemerintah pun hanya bertingkah mengutuk tanpa pernah memperhatikan esensi dari apa yang rakyat suarakan. 

Lama-kelamaan Indonesia adalah Luvina. Negara yang seluruh rakyatnya hanya menunggu maut sebagai harapan kebebasan mereka. Bersahabat dengan kelaparan, berteman kegelisahan, tanpa berani memikirkan apa yang esok hari hendak kita makan. Bagaimana Juan Rulfo? Indonesia adalah Luvina. 



Komentar

  1. Aseeeek... Efek sering baca buku. Tulisan mu jleb jleb gess..😘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Barokah Al Khidmah gaess, barokah pondok gaes 🤣👌

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer