Pengunduran Diri Para Menteri Sebab Pandemi

Bagaimana kondisi kesehatan fisik dan mental masyarakat Indonesia saat ini setelah berbulan-bulan menghadapi pandemi? Seberapa sukses penanganan pemerintah dan masyarakat terhadap penyebaran virus korona? Dan seberapa tumbuh ekonomi Indonesia setelah terperosok dalam? 

Pertanyaan-pertanyaan seputar virus korona menjadi sesuatu yang amat krusial akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Hampir seluruh negara di penjuru dunia mengalami permasalahan yang serupa. Kesehatan dan ekonomi menjadi erang-erangan pemerintah dan masyarakat. Hal ini telah mencapai titik puncak dilematis dalam menentukan bagaimana kelanjutan nasib harapan baik negara di masa yang akan datang. Berbagai cara telah diterapkan, berjubel dana telah digelontorkan, berliter-liter peluh telah diteteskan, hingga yang paling miris, beribu-ribu jiwa telah bergelimpangan. Lantas, siapakah yang mesti bertanggung jawab atas segala keresahan yang berkepanjangan ini?

Melirik negara-negara dengan jumlah kasus yang tak kalah tinggi dengan negara tercinta kita. Beberapa negara mengalami suatu kondisi, di mana pemerintah, terutama yang memiliki kewajiban memangku khusus penanganan kasus pandemi merasa kalang-kabut. Bahkan para pemimpin mereka, terkhusus yang ditugaskan sebagai garda terdepan dalam penanganan tak kuat lagi dan berujung memilih untuk mengundurkan diri. Sebut saja, Menteri Kesehatan Belanda, Menteri Kesehatan Rumania, Menteri Kesehatan Ekuador, Menteri Kesehatan Selandia Baru, Menteri Dalam Negeri Turki, dan Kepala Medis Skotlandia.

Dalam penanganan pandemi korona pun. Sifat kompeten dan konsisten sangat dibutuhkan dari seorang pemimpin, yang menjadi penentu utama diputuskannya kebijakan-kebijakan penanganan. Tanggung jawab presiden, gugus tugas, kementerian kesehatan, dan seluruh yang terkait seakan-akan menjadi santapan tak habis-habis masyarakat saat ini. Pengujian ini alami dan tanpa dibuat-buat. Karena keadaan sudah terlalu jauh mendesak. Maka tak ayal, lidah siapapun menjadi mendadak tajam.

Lalu, apa alasan pemimpin-pemimpin itu mengundurkan diri? Apakah pengunduran diri adalah sebagai bentuk rasa kegagalan dan ketidakmampuan dalam mengampu tanggung jawab? Apakah pengunduran diri sebagai salah satu di antara solusi-solusi yang terbaik? 

Tanggung jawab bukanlah hal remeh-temeh seperti mengedipkan mata beberapa kali. Terlebih apabila tanggung jawab menyangkut keselamatan berjuta-juta jiwa manusia. Sebagai pemegang seluruh kebijakan strategis, beberapa pemimpin memilih mundur karena merasa gagal dan tidak becus dalam memikul tanggung jawab atas kepemimpinan mereka seperti yang telah disebut. Maka karenanya, kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang menyertakan di dalamnya nyawa berjuta-juta manusia haruslah terukur dan teruji. Ketidaktepatan dalam satu langkah pun tak jarang harus berakhir fatal.

Maka tak heran jika kemudian banyak pemimpin merasa malu dan galau karena dianggap gagal menanggung beban itu. Dan akibatnya berakhir melakukan pengunduran diri. Rasa ketidakberdayaan ini bisa berawal dari beberapa sebab. Boleh karena lingkungan yang begitu menuntut untuk berusaha sangat dan sangat baik dalam bekerja, yang dalam hal ini adalah bagian dari faktor eksternal. Tuntutan atasan, rekan kerja, masyarakat, terlebih keluarga tentu mengambil tempat dalam sebab pengunduran diri ini. Seseorang bukan hanya bisa lelah secara fisik, tetapi juga bisa lelah secara mental, secara psikologis.

Faktor internalnya, mungkin seseorang telah terbiasa melakukan seluruh pekerjaan yang menjadi tanggung jawab tersebut dengan sangat baik dan betul, sehingga, ketika Ia merasa gagal walau sekali saja, Ia langsung anggap dirinya tidak becus dan tak pantas lagi untuk mengemban itu semua. Hal ini biasa dialami seseorang yang sering berpikiran bahwa kepentingan orang banyak, yang saat itu menjadi tanggung jawabnya lebih utama dibanding kepentingan dirinya sendiri. Ia juga berpikir bahwa tanggung jawab merupakan bentuk lain dari antara kesanggupan untuk hidup dan kesanggupan untuk mati. Sehingga ketika Ia dianggap gagal dalam tanggung jawab tersebut Ia sudah mati dan harus cepat-cepat menguburkan diri. 

Dua hal itulah yang selanjutnya menyebabkan rasa ketertekanan dalam diri, baik mental ataupun fisik. Sehingga membuat keterpurukan mental dan fisik menjadi alasan dari putusan untuk mengundurkan diri.

Namun, tentu mengundurkan diri bukan satu-satunya solusi terbaik di tengah situasi runyam seperti sekarang. Ada banyak waktu untuk mengevaluasi kesalahan dan memperbaikinya. Tidak harus selalu berjuang sendirian, karena hal ini bersifat kepentingan bersama bahkan seluruh dunia mengalaminya, koordinasi dan kerja sama sangat dibutuhkan antar pemangku kepentingan yang terkait. Selalu saja terus berusaha untuk menjadi lebih baik. Penanganan pandemi korona setidaknya harus didasari ketegasan pemerintah dan kesadaran masyarakat. Karena intinya, kita tidak mau terus-menerus menghirup udara yang sama di dalam rumah lebih lama lagi, kita tidak kuat berlama-lama menatap layar ponsel dan komputer hanya untuk berinteraksi, dan kita tidak tega melihat angka kematian yang semakin tinggi. Semoga Tuhan segera mencabut masa pandemi.







Komentar

Postingan Populer