Kematian Naruto dan Kesedihan Para Penggemarnya

Setelah para penggemar Naruto mendengar kabar mengejutkan bahwa idola mereka meninggal dunia, sebagian dari mereka menjadi sangat sedih dan berduka. Video berlangsungnya acara pembacaan tahlil di Konoha pun sudah menyebar luas di media sosial. Karangan bunga banyak berjajar di depan rumah suami Hinata tersebut. Dia merupakan hokage ke tujuh Desa Konoha. Pemilik biju terkuat di antara sembilan biju yang ada. Dia adalah seorang pahlawan besar di dunia ninja. 

Tapi saya tidak akan membahas Naruto lebih jauh. Tulisan ini bukan pembahasan mengenai berapa bayangan yang bisa dibuat Naruto. Saya tidak akan membahas status Si Janda Cantik Hinata. Dan saya juga tidak akan membahas tentang siapa yang berhak menjadi Hokage Konoha selanjutnya. 

Yang perlu mendapat perhatian serius adalah fenomena mengapa para penggemar Naruto bisa begitu sangat sedih dan emosional dengan kematian Naruto. Mereka menangis seakan-akan Naruto adalah sosok yang benar-benar pernah hidup di dunia nyata lalu mengalami kematian sebagaimana manusia seperti kita. Padahal, Naruto tidak pernah menyapa kita, mungkin di suatu pagi yang cerah, tidak pernah. Naruto bahkan tidak pernah hanya lewat tanpa menoleh di depan rumah kita. Atau sesekali mengajak kita makan ramen di tempat langganannya. Tapi mengapa Naruto begitu membekas di dalam hati para penggemarnya sementara Naruto itu sendiri hanyalah berupa tokoh fiktif? 

Kita mengenal Naruto hanya melalui film serial, komik, atau bahkan novel. Yang ketiga-tiganya itu merupakan hal yang identik. Sama-sama berisi cerita, berisi latar, tokoh-tokoh, alur yang melaju, dan tetek-bengeknya. Sebagian isinya adalah memuat dan menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Inilah salah satu alasan mengapa seseorang merasa sedih ketika mendengar kabar kematian tokoh favoritnya. Kehidupan sosial di dalam cerita sangat identik dengan kehidupan sosial kita. Sehingga kita merasa Naruto pernah hadir dalam keseharian kita. Apalagi kita sering menontonnya di akhir pekan.

Dalam konteks lebih luas. Suatu cerita, entah film, novel, ataupun drama, bukan hanya dipengaruhi kehidupan, tetapi sekaligus juga mempengaruhi kehidupan. Apa tandanya? Kita terkadang, mungkin juga sering meniru apapun yang dilakukan oleh tokoh favorit kita: Sikapnya, gaya penampilannya, bahkan pilihan hidupnya, hanya demi memuaskan rasa kagum dan senang kita. Inilah yang tokoh Naruto berikan kepada penggemarnya. Dia mengambil tempat di dalam hati para penggemar.

Terkadang kita juga merasa, suatu kali, apa yang dialami oleh tokoh favorit kita, pernah juga kita alami. Sehingga hal ini akan membentuk suatu keterikatan secara mental dalam diri kita. Kita menganggap tokoh itu adalah sahabat kita, teman baik kita, keluarga kita, bahkan mewakili diri kita sendiri, yang sama-sama pernah mengalami suatu kondisi atau peristiwa serupa. Maka tanpa sadar kita pun akan ikut merasakan semua sensasi yang tokoh itu rasakan. 

Barangkali, jika tidak demikian, salah satu tokoh dalam cerita, ada yang kita anggap paling merepresentasikan diri kita. Misalkan, kita tidak menganggap Naruto sebagai bagian dari diri kita. Namun, mungkin gambaran salah satu tokoh yang lain sesuai dengan diri kita. Ambil contoh saja Hinata, istri Naruto. Bayangkan kita merasa sesuai dengan kepribadian Hinata, lantas kita merasa menjadi Hinata. Bagaimana perasaan Hinata ketika dibuat janda dengan kematian Naruto. Ya, sedih. Maka kita sebagai Hinata juga ikut merasa sedih.

Dengan metode penokohan yang tepat, suatu tokoh akan dengan cepat mengambil hati pembaca jika berbentuk media tulis dan penonton jika berbentuk film atau drama. Penokohan yang dinamis, yang menampilkan bentuk fisik, watak, sikap, dan ciri khas tokoh seiring dengan berjalannya cerita, perlahan-lahan akan mengambil alih sisi emosional si pembaca dan penonton. Lebih-lebih cerita itu dibaca dan ditonton setiap hari. Semakin sering maka akan kian melekat. Jarang sekali ada pembaca yang bisa terhindar dari hal semacam ini. Seperti itulah cerita yang berisi kehidupan sosial yang sebagian besar mencakup dan seakan-akan melibatkan kehidupan kita sendiri. 

Semakin kita mengenal lebih jauh, mengenal lebih dalam terhadap tokoh favorit kita. Maka pada waktu itulah kita akan semakin ditarik kedalam lika-liku kehidupan fiksi sang tokoh, ditarik untuk ikut merasakan apa yang dirasakan sang tokoh. Kebahagiaan, kebanggaan, kesedihan, dan bahkan keputusasaan. Sangat sulit bagi seseorang yang terlanjur hanyut kedalamnya untuk bisa menghentikan diri. Tokoh telah mencapai titik inti dari otak kita dan titik terdalam dari perasaan kita.

Oleh karenanya, kita tak perlu heran dengan fenomena adanya penggemar Naruto yang sangat terlampau sedih, galau, dan merasa begitu kehilangan. Fenomena seperti ini telah berkali-kali di teliti dengan melibatkan banyak ilmuan ahli cerita khususnya kesusastraan, ahli psikologi, dan sosiologi. Hingga mereka menciptakan kajian mengenai hubungan psikologi dan sosiologi kesusastraan. Dengan akhiran, semoga Naruto mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. (*)


*) Beberapa pendapat diambil dari buku Teori Kesusastraan Rene Wellek dan Austin Warren.



Komentar

Postingan Populer