Keruntuhan Eksistensi Manusia

Kebutuhan dan tuntutan zaman telah menggiring jauh kita kepada suatu keadaan tak menentu. Suatu keadaan yang bisa dibilang mutlak, sulit bahkan tidak dapat kita hindari. Perubahan dan pergerakan selalu dialami oleh segala apapun dalam kehidupan. Yang semata-mata merujuk kepada harapan untuk lebih baik. Informasi yang terintegrasi, mode busana yang tiada habis berubah, gaya hidup yang dinamis, dan segala macam aspek kehidupan umat manusia. 

Namun, di balik tabir keindahan perubahan demi menuju yang lebih baik, ada suatu efek besar dan buruk yang sebagian besar dari umat manusia itu sendiri, sebagai aktor utama, tidak menyadarinya. Semacam revolusi, perubahan selalu membutuhkan kepada korban, kepada tumbal, yang telah menjadi keniscayaan dari segala pergerakan. Kita tidak mungkin bisa bertahan hidup tanpa ada yang kita makan seperti halnya kita juga tidak mungkin revolusi tanpa ada satu korban. 

Sehingga semua di atas, menjadikan dinamika kehidupan manusia menjadi tidak menentu. Hal ini menyentuh aspek sosial, budaya, politik, bahkan agama. Salah satunya adalah tentang kegagapan manusia dalam menentukan tidak dan pentingnya sesuatu yang mereka lakukan. 

Beberapa hal yang menjadi penyebab inti dari kegagapan ini: 


Sifat konsumtif berlebihan

Selama ini kita merasa sadar bahwa apa-apa yang kita beli adalah benar-benar kita butuhkan. Sehingga kita menganggap kita pantas untuk membelinya. Padahal, sikap kita tersebut tidak selamanya didasari atas rasa keterbutuhan. Karena terkadang kita melakukan dan membeli sesuatu hanya karena kita melihat orang lain membeli dan melakukannya. Sehingga jika kita melewatkan itu, kita merasa sangat rugi. Namun, sesungguhnya, ini adalah tanda bukti bahwa seseorang memiliki rasa konsumtif yang berlebihan.


Mencari kesenangan sementara

Sadar atau tidak, hal ini sering kali merasuk dalam pada diri kita. Kita menginginkan sesuatu karena kita tahu bahwa hal tersebut bisa membawa kesenangan tersendiri bagi kita. Namun nyatanya, hal-hal itu lebih sering hanya bersifat sementara. Sehingga kesenangan-kesenangan itu sangat cepat timbul dan juga sangat cepat tenggelam. Mencari kesenangan adalah hal naluriah dalam diri seorang manusia. Sehingga seseorang kadang kala terburu-buru dalam menentukan suatu hal yang mengacu pada kesenangan tanpa terlebih dahulu menimbang-nimbang apakah hal itu benar-benar membawa kita pada kesenangan atau tidak.


Lebih tertarik pada hal sensasional

Sensasional terlebih mirip dengan kesenangan sementara. Kita terlalu sering lebih terpaku pada hal tidak penting tapi sensasional ketimbang hal yang penting tetapi tidak banyak dibicarakan orang. Tentu saja hal ini memanglah sukar untuk dihindari. Bagaimana mungkin kita melewatkan sesuatu yang semua orang membicarakannya? Ini hal yang sulit kita lakukan. Namun, pada dasarnya, tidak semua hal yang orang lain ramai perbincangkan bisa membawa manfaat pada diri kita. Setiap manusia mempunyai kebutuhan khas masing-masing. Terlebih ketika terdapat suatu kasus penting yang cepat tenggelam karena kalah unik dan sensasional dari kasus lain yang sebetulnya hanya kasus remeh-temeh. Salah satu penyebabnya adalah fokus kita. Yang terlalu perhatian pada kasus remeh sensasional tidak penting daripada kasus penting yang terlihat tidak ada apanya.


Gengsi

Yang terakhir ini tidak jauh berbeda dari poin-poin sebelumnya. Mempunyai satu akar permasalahan yang kurang lebih sama. Sama-sama bersumber dari sifat berlebihan. Namun, gengsi lebih didasari oleh rasa iri yang akut untuk memiliki hal yang sama bahkan lebih dari orang lain. Hal ini ditandai ketika kita melihat teman-teman kita memakai pakaian lebih mahal dan bermerek, maka kita merasa harus menyamainya bahkan mesti melebihinya. Mengapa kita tidak iri saja pada teman kita yang membaca buku yang lebih bermutu dari buku yang kita baca? Bukankah hal itu lebih bermanfaat?


Semua hal diatas bermuara pada satu kecenderungan. Kecenderungan yang kuat bahwa manusia telah takluk oleh serba-serbi sosial-budaya di sekitaran ia hidup. Kekalahan ini begitu telak sampai manusia itu sendiri pun tak sadar dan susah untuk bangkit. Jangankan untuk berusaha bangkit, sebagian dari kita pun tak bisa menyadarinya. Bagaimana bisa bangkit kalau kita tidak tahu bahwa kita sedang runtuh? Kekalahan ini juga merupakan bukti lemah dan barangkali hilangnya jati diri setiap manusia. Kita terlalu membebaskan jiwa kita sehingga tanpa sadar jiwa itu bebas dan hilang kendali dari kemudi pemiliknya. Terlalu mengarus pada sungai perubahan. Hingga kalangan para filsuf menyebutnya sebagai 'keruntuhan eksistensi manusia.'




Komentar

Postingan Populer